Bekasiraya.id – Polemik tahunan dalam penerimaan peserta didik baru kembali mencuat. Tahun ajaran 2025/2026 belum dimulai, namun sudah diwarnai keluhan publik soal sistem pendaftaran yang dianggap semrawut dan tidak berpihak pada anak.

Ketua DPR RI, Puan Maharani menegaskan kegaduhan dalam proses penerimaan siswa bukan hanya soal teknis atau kelalaian sesaat, melainkan mencerminkan buruknya tata kelola pendidikan nasional yang selama ini dibiarkan.

“Setiap tahun masalahnya nyaris sama, antrean sejak subuh, sistem digital yang eror, data domisili yang dipertanyakan, hingga praktik pungutan liar yang kini bahkan diakui oleh kepala daerah,” kata Puan, Selasa, 17 Juni 2025.

“Kondisi ini tidak bisa lagi dianggap sebagai gangguan musiman. Ini adalah krisis tata kelola yang dibiarkan rapuh selama bertahun-tahun,” ucapnya.

Menurut Puan, kegagalan SPMB (Sistem Penerimaan Murid Baru) bukan semata soal administrasi yang buruk, tetapi sudah menyentuh ranah pelanggaran hak anak atas pendidikan yang adil dan bermartabat.

“Ketika anak-anak ditolak dari sekolah yang hanya berjarak ratusan meter dari rumah mereka karena sistem zonasi digital yang tidak masuk akal, maka yang dilukai bukan hanya rasa keadilan, tetapi juga masa depan,” ujarnya.

Puan menilai SPMB yang disebut-sebut sebagai penyempurna sistem PPDB, belum mampu menyelesaikan persoalan yang sudah mengakar. Dengan berbagai skema seperti jalur domisili, afirmasi, prestasi, hingga mutasi, sistem ini justru menambah kebingungan dan celah manipulasi.

Bahkan, adapula laporan tentang dugaan manipulasi data domisili yang kembali muncul di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Modusnya termasuk perpindahan domisili mendadak dan pemalsuan Kartu Keluarga (KK), yang diduga dilakukan untuk mengejar zona sekolah tertentu.

“Pendidikan seharusnya menjadi ruang paling aman dan inklusif untuk semua anak. Tapi kenyataannya, pintu masuk ke sekolah justru menjadi arena yang penuh ketidakpastian,” jelasnya.

Puan menilai, digitalisasi sistem tidak dibarengi dengan pengawasan yang ketat. Hal ini membuka peluang bagi oknum untuk mempermainkan data, bahkan sampai merugikan peserta didik yang seharusnya berhak.

“Ketika data domisili bisa diatur sedemikian rupa oleh oknum, maka kita tidak sedang membangun sistem yang adil, kita sedang membiarkan penyimpangan berlangsung di balik layar,” jelas mantan Menko PMK itu.

Lebih jauh, ia menyoroti minimnya upaya reformasi dari pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, dalam menyelesaikan akar persoalan pendaftaran sekolah. Ia mendorong agar dilakukan audit menyeluruh terhadap sistem pendaftaran digital di seluruh provinsi.

“Audit independen terhadap sistem pendaftaran digital yang digunakan di seluruh provinsi, guna menutup celah manipulasi dan intervensi pihak ketiga,” tegas Puan.

“Penegakan hukum terhadap setiap bentuk pungli, suap, atau jual-beli kursi yang merusak integritas sistem pendidikan nasional juga harus diberlakukan,” imbuhnya.

Selain itu, Puan mendesak agar pemerataan kualitas pendidikan benar-benar diwujudkan. Menurutnya, pendidikan tidak boleh menjadi hak eksklusif segelintir orang. Konsentrasi sekolah unggulan di wilayah tertentu juga dianggap hanya memperparah kesenjangan.

“Hak anak untuk bersekolah bukanlah hak istimewa, itu hak konstitusional yang wajib dipenuhi negara. Tidak ada alasan bagi negara untuk gagal menyelenggarakan proses masuk sekolah dengan transparan, manusiawi, dan adil,” tandasnya.

Bekasiraya
Editor