MEGAPOLITAN.ID – Maraknya kasus kekerasan di lingkungan sekolah mendapat kecaman dari Dewan Pengurus Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G).

Sekolah yang seharusnya menjadi ekosistem yang nyaman, sehat dan berpihak kepada tumbuh kembang anak, menjadi kebalikan lantaran kasus kekerasan yang terus terjadi.

“Runtutan kekerasan terus terjadi di sekolah, seminggu ini sudah ada tiga kasus. Seakan kekerasan tak dapat disetop, lagi-lagi siswa dan guru jadi korban, alarm keras bagi pendidikan nasional,” ujar Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G, dalam keterangannya, Rabu (27/9/2023).

Menurutnya, Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP) yang terbit Agustus 2023 lalu, nyatanya tak mampu mencegah terjadinya kekerasan di sekolah.

Data Rapor Pendidikan yang baru dirilis Kemdikbudristek (September 2023) juga menunjukkan, bahwa indikator iklim keamanan sekolah tengah menurun.

Penurunan 3 poin untuk jenjang SMP, dari semula 68,25 menjadi 65,29. Lalu penurunan drastis 5 poin untuk jenjang SMA, yang semula 71,96 menjadi 66,87.

“Permendikbudristek PPKSP seolah macan kertas, galak di tulisan, namun lemah dalam implementasi di sekolah”, lanjut Satriwan.

P2G mencatat sedikitnya lima kasus indikasi kekerasan di sekolah dalam satu bulan terakhir. Pertama kasus guru mencukur rambut belasan siswi karena tak pakai jilbab sesuai aturan sekolah di Lamongan. Kedua, seorang anak SD di Gresik diduga dipalak dan dicolok matanya sampai buta oleh kakak kelas.

Ketiga, seorang guru MA di Kecamatan Kebonagung, Demak dibacok siswa saat asesmen tengah semester berlangsung. Siswa bersangkutan diduga tak diperbolehkan ikut ujian karena belum mengumpulkan tugas.

“Di sisi lain, pelaku siswa beraktivitas sebagai pedagang nasi goreng untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tapi, kekerasan atas nama apapun tidak bisa dibenarkan,” ujar Satriwan.

P2G berharap guru dan kepala sekolah dapat memenuhi semua tahapan pendampingan dan pembimbingan kepada siswa.

Terkait indikasi siswa tak diperbolehkan ujian karena tidak mengumpulkan tugas, sebenarnya bisa diselesaikan melalui koordinasi guru dengan wali kelas, orang tua, bahkan guru BK.

“Sekolah mestinya punya profil siswa dan keluarga serta melakukan asesmen diagnostik non akademik terhadap siswa agar dapat memberi perlakuan yang adil dan proporsional,” paparnya.

Keempat, seorang siswa dipukuli dengan bertubi-tubi atau dianiaya oleh siswa lain sambil direkam oleh siswa lainnya. Pelaku dan korban diduga pelajar SMPN 2 Cimanggu, Cilacap.

Dalam kasus ini, P2G mengapresiasi pihak kepolisian yang cepat melakukan tindakan hukum kepada pelaku anak, dengan tetap mengacu pada UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak.

Kelima, seorang siswi SDN 06 Pesanggarahan Jakarta Selatan, diduga kuat lompat dari lantai 4 gedung sekolahnya. Hal ini berdasarkan keterangan Kasatreskrim Polres Jakarta Selatan.

“Seminggu ini dunia pendidikan kita sedang berkabung. Indikasi kuat sekolah belum memahami Permendikbudristek PPKSP,”  kata Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Guru P2G.

P2G menilai Permendikbudristek PPKSP belum disosialisasikan optimal oleh Kemdikbudristek dan Dinas Pendidikan sampai ke level pengawas, kepala sekolah, guru, orang tua, dan siswa. Berdasarkan pantauan dan laporan jaringan P2G, Permendikbud PPKSP tak banyak diketahui guru, siswa, dan orang tua.

“Permendikbud PPKSP belum mampu mencegah dan menanggulangi kekerasan di sekolah. Sangat disayangkan sekolah belum menyadari adanya aturan ini,” celetuk Iman.

“Dalam peristiwa siswi SDN 06 Pesanggrahan, Jaksel, P2G mendesak pihak sekolah menjelaskan dengan jujur dan transparan,” ungkapnya.

Menurutnya, pihak kepolisian harus mendalami dan mengungkap kasus tersebut secara jujur dan terbuka, termasuk penyebab anak korban loncat dari lantai 4. Seandainya ada indikasi anak menjadi korban perundungan, tentunya sangat miris sekali.

Feriyansyah, Kepala Bidang Litbang Pendidikan P2G menyebutkan berdasarkan kajian epidemologi kesehatan, ada beberapa faktor kemungkinan penyebab anak korban melakukan tindakan fatal tersebut.

Pertama, bisa faktor rentetan kejadian yang tidak mengenakkan pada hari itu. Kedua, akumulasi tekanan dan stres atas lingkungan sosial yang tidak aman dan nyaman, misalnya karena sering mendapatkan tindakan perundungan dalam jangka waktu cukup lama. Ketiga, karena tak kuasa lagi menahan penyakit kambuhan yang diderita.

Berdasarkan kelima kasus tersebut, P2G memberi 5 rekomendasi:

1. Kemdikbudristek jangan hanya berhenti dengan membuat Permendikbudristek tentang PPKSP, tetapi menyosialisasikan kepada semua stakeholder pendidikan. Di antaranya Dinas Pendidikan, pengawas sekolah, organisasi profesi guru, orangtua, dan siswa secara berjenjang.

Sosialisasi kebijakan PPKSP, paradigma disiplin positif, sampai dengan pelatihan keterampilan teknis bagi guru dan kepala sekolah guna pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah.

2. Mendesak seluruh Dinas Pendidikan, pengawas sekolah, dan kepala sekolah membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Sekolah (TPPK) sebagai garda terdepan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah.

“P2G menilai masih sangat minimnya sekolah yang sudah membentuk TPPK hingga hari ini,” ungkap Iman.

3. Pelatihan PPKSP dan pembentukan TPPK di sekolah jangan hanya formalitas dan administratif belaka. Setiap guru dan siswa dipastikan harus betul-betul diberi pemahaman dan keterampilan cara mencegah dan menanggulangi kekerasan di sekolah.

“Selama ini sekolah hanya berhenti pada aksi “Deklarasi Anti Perundungan” atau “Deklarasi Sekolah Ramah Anak” yang sekedar jargon belaka,” sindir Iman.

4. P2G berharap Kementerian Agama yang mengatur madrasah segera mengadopsi Permendikbudristek No 46 Tahun 2023 untuk segera digunakan. Karena sejauh ini, Permendikbud tersebut dipahami guru hanya bagi sekolah saja bukan untuk madrasah.

5. Bagi pihak sekolah, madrasah, dan satuan pendidikan berbasis agama, P2G meminta jangan menutupi kasus dan melindungi pelaku apapun bentuk aksi kekerasan bullying dan kekerasan seksual di lingkungan sekolah.