Perang dagang antara Amerika Serikat dan China semakin memanas. Sengketa dua raksasa ekonomi dunia ini tentunya membawa dampak bagi negara-negara lain, tak terkecuali Indonesia. Meski begitu, Indonesia memilih bersikap netral dan tak akan memutuskan kerja sama bilateral kedua negara.
Guru Besar Universitas Bina Nusantara (Binus) Bekasi, Gatot Soepriyanto menilai ketegangan perdagangan antara AS-China dapat membawa dampak positif bagi Indonesia, jika dimanfaatkan secara strategis. Menurutnya, gejolak global dapat membuka peluang baru bagi investor asing mencari alternatif investasi, terutama di negara berkembang seperti Indonesia.
Gatot menuturkan, Indonesia memiliki sejumlah keunggulan ketika nantinya ada perombakan ulang rantai pasok global dan investor mencari lokasi baru yang lebih stabil. Keunggulan yang dimaksud, utamanya dalam hal penyediaan SDM berkualitas dan lokasi logistik yang strategis.
“Beberapa melihat uncertainty ini sebagai peluang positif. Ketika dua raksasa ekonomi dunia saling bertarung dan salah satunya memindahkan pasarnya ke negara lain, Indonesia berpotensi menjadi tujuan karena memiliki sumber daya manusia, pasar yang besar dan lokasi logistik yang strategis,” ujar Gatot kepada awak media, Selasa 15 April 2025.
Oleh karena itu, Gatot berharap Indonesia perlu menyiapkan diri untuk menyambut potensi relokasi industri. Hal ini tidak hanya menyangkut infrastruktur, tetapi juga peningkatan kapasitas tenaga kerja, termasuk penguasaan bahasa asing dan pemahaman budaya kerja global.
“Kalau pabrik dari Tiongkok pindah ke Indonesia, maka kebutuhan akan tenaga kerja yang memahami bahasa Mandarin akan meningkat. Begitu juga jika Jepang membuka peluang kerja karena kekurangan tenaga kerja, itu bisa menjadi kesempatan migrasi yang strategis,” jelas Gatot.
Direktur Kampus Binus Bekasi itu menyebut pihaknya terus melakukan penyesuaian kepada para mahasiswa, baik dari sisi pendekatan pengajaran maupun isi kurikulum. Langkah ini sebagai wujud nyata menghadapi dinamika global tersebut.
Meski struktur kurikulum secara formal sudah ditetapkan, lanjutnya, namun ruang untuk berinovasi tetap terbuka. Hal itu dilakukan melalui studi kasus terbaru, kehadiran dosen tamu dari kalangan praktisi, serta pembaruan materi kuliah yang relevan dengan isu industri terkini.
“Misalnya, dalam mata kuliah makro ekonomi, sekarang kami memasukkan studi kasus mengenai perang dagang dan dampaknya terhadap perdagangan internasional,” paparnya.
Dan untuk memastikan setiap lulusan siap menghadapi dunia kerja yang semakin terdampak oleh perkembangan teknologi, termasuk kecerdasan buatan, Binus juga mewajibkan mata kuliah Foundation of Artificial Intelligence bagi seluruh mahasiswanya sejak semester kedua.
Binus mengusung sistem pembelajaran 2,5 tahun di dalam kampus dan 1 tahun di luar kampus dengan tujuh jalur peminatan yang fleksibel. Mahasiswa juga didorong untuk mengambil Minor Program lintas disiplin agar lebih adaptif terhadap perubahan.
“Kami ingin mencetak lulusan yang mandiri dan sukses di masa depan, dengan bekal pengetahuan yang tidak hanya teoritis tetapi juga aplikatif sesuai kebutuhan industri,” tandas Gatot.
Tinggalkan Balasan