Bekasiraya.id – Kepala Ekonom PT Bank Central Asia (BCA), David Sumual, mengungkapkan fenomena masyarakat yang hanya sekadar jalan-jalan ke mal tanpa berbelanja, yang dikenal dengan istilah ‘Rojali’ alias rombongan jarang beli, kembali marak terjadi. Ia menilai kondisi ini mencerminkan situasi ekonomi yang mirip dengan krisis global 2008.
“Rojali ini memang kelihatan. Di mal-mal kan kita lihat,” kata David, dikutip CNN, Jumat, 18 Juli 2025.
Menurutnya, warga Jakarta kini lebih banyak mencari promo dan diskon saat berkunjung ke pusat perbelanjaan, bukan langsung membelanjakan uang. Hal ini, kata dia, menjadi sinyal lemahnya daya beli masyarakat.
“Saya bertemu dengan beberapa supplier produk-produk luxurious seperti tas, arloji, mereka merasakan (penurunan minat beli), mirip-mirip krisis 2008,” ungkapnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga di kuartal I 2025 hanya mencapai 4,87 persen, lebih rendah dibanding periode sama tahun lalu, yang tercatat 4,91 persen, meski saat itu ada momentum Ramadan dan Lebaran.
Sinyal pelemahan konsumsi juga terlihat dari kinerja penjualan ritel. Indeks Penjualan Riil (IPR) Bank Indonesia menunjukkan pertumbuhan tahunan yang stagnan, Januari hanya naik 0,5 persen (yoy), Februari 2 persen, dan kembali 0,5 persen pada Maret 2025.
David menambahkan, kelompok menengah dan menengah atas yang selama ini menjadi penopang konsumsi nasional, justru cenderung menahan belanja. Mereka kini memilih menempatkan dana di berbagai instrumen investasi yang menjanjikan imbal hasil tinggi.
“Giro aja ada yang (menawarkan) 7 persen, apalagi deposito. Terus juga yield SBN lumayan tinggi dan ada instrumen lain emas digital, emas biasa, perhiasan. Instrumen investasi posisinya lagi menarik bagi mereka (konsumen),” ucapnya.
Meski demikian, David tetap optimistis kondisi konsumsi nasional akan mulai membaik di paruh kedua tahun ini, seiring meredanya ketidakpastian global dan kebijakan fiskal pemerintah yang lebih ekspansif.
“Pemerintah juga belanja dan memberikan stimulus. Saya pikir, kondisi (konsumsi) semester II akan berbeda jauh dengan semester I secara keseluruhan,” imbuhnya.
Senada dengan David, Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) Bank Indonesia, Juli Budi Winantya, menyatakan bahwa konsumsi rumah tangga diprediksi menguat karena beberapa faktor pendorong.
Pertama, ia menyebut inflasi yang rendah akan menjaga daya beli masyarakat. “Inflasi diperkirakan masih akan rendah dan stabil, tentunya daya beli tidak akan tergerus sehingga daya beli akan tetap baik,” ujar Juli.
Kedua, program bantuan sosial dari pemerintah untuk masyarakat kelas bawah tetap menjadi penopang daya konsumsi.
Ketiga, perbaikan di sektor pertanian, termasuk harga gabah yang lebih baik, turut mendorong konsumsi.
Keempat, membaiknya situasi global dinilai akan menumbuhkan kepercayaan konsumen untuk kembali berbelanja. “Confidence yang semakin membaik akan membuat ekspektasi untuk melakukan konsumsi rumah tangga juga akan semakin meningkat,” tambahnya.
Kelima, David menambahkan, tren ekspor Indonesia diperkirakan positif menyusul kebijakan tarif impor dari Amerika Serikat yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan beban tarif ke-2 terendah di ASEAN, yakni 19 persen.
“Jika ekspor naik, maka pendapatan masyarakat pun diyakini ikut terdongkrak,” tandasnya.
Tinggalkan Balasan