Jaksa Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Asep Nana Mulyana memimpin ekspose dalam rangka menyetujui 14 permohonan penyelesaian perkara, berdasarkan mekanisme keadilan restoratif atau Restoratif Justice (RJ).
Salah satu perkara yang menarik diselesaikan melalui mekanisme RJ, yaitu terhadap tersangka T Dhika Rahmad bin Alm Hardi Yuzar dari Kejaksaan Negeri Aceh Barat Daya, yang disangkakan melanggar 362 KUHP tentang Pencurian Jo Pasal 367 Ayat (2) KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan.
Peristiwa ini bermula saat korban, Kasmawati binti Alm Zakaria (ibu kandung tersangka) yang baru pulang mengajar, menaruh laptop beserta charger ke dalam tasnya yang diletakkan di atas tempat tidur.
Tersangka yang sedang kesulitan uang untuk membayar sewa toko yang sudah jatuh tempo, kemudian memiliki niat mencuri laptop tersebut untuk digadaikan. Ia pun melancarkan aksinya dan bergegas keluar rumah.
Tersangka lalu pergi menggadaikan laptop tersebut di sebuah counter ponsel milik Zulfikri, di Jalan Blangpidie-Tapaktuan. Harga gadai kemudian disepakati sebesar Rp 1,5 juta yang dibayar bertahap tiga kali, yakni Rp 800 ribu, Rp 200 ribu dan Rp 500 ribu.
Dalam proses perdamaian, tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada korban. Korban pun menerima permintaan maaf tersangka serta meminta agar proses hukum yang sedang dijalani oleh tersangka, dihentikan.
Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kajari Aceh Barat Daya mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kajati Aceh, yang kemudian disetujui dalam ekspose RJ yang digelar pada Kamis, 29 Agustus 2024.
Berdasarkan Siaran Pers Nomor: PR – 754/086/K.3/Kph.3/08/2024 oleh Kapuspenkum Dr Harli Siregar sebut Jampidum juga menyetujui 13 perkara lain melalui mekanisme RJ, di antaranya:
1. Tersangka I Gusti Ngurah Mas Mahareksha Bhimashakti dari Kejaksaan Negeri Denpasar, yang disangkakan melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
2. Tersangka Anang Ramadhan Siregar dari Kejaksaan Negeri Labuhanbatu Selatan, yang disangkakan melanggar Pasal 335 Ayat (1) KUHP tentang Pengancaman.
3. Tersangka Suhada Siregar alias Suhada dari Kejaksaan Negeri Labuhanbatu Selatan, yang disangkakan Pasal 44 Ayat (1) UU RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau Kedua Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
4. Tersangka Jubelson Tampubolon dari Kejaksaan Negeri Toba Samosir, yang disangkakan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
5. Tersangka Egi Sumargio bin Bambang dari Kejaksaan Negeri Aceh Barat Daya, yang disangkakan melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
6. Tersangka Fakhrurrazi bin Ridwan dari Kejaksaan Negeri Bireuen, yang disangkakan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
7. Tersangka Indra Saputra bin Dahlan dari Kejaksaan Negeri Aceh Tengah, yang disangkakan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
8. Tersangka I Rahmad Fitra bin Limina dan Tersangka II Limina bin Ismail dari Kejaksaan Negeri Aceh Tengah, yang disangkakan Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
9. Tersangka Fitriani binti Saprudin M. Bay (Alm) dari Kejaksaan Negeri Kutai Kartanegara, yang disangkakan melanggar Pasal 310 Ayat (4) UU RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
10. Tersangka Muhammad Syahdan als Saddam bin Hamdani dari Kejaksaan Negeri Samarinda, yang disangkakan melanggar Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
11. Tersangka Rea Chandra Merrinda binti H. Achmad Surya dari Kejaksaan Negeri Samarinda, yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.
12. Tersangka Sarah binti M. Nur dari Kejaksaan Negeri Tanjung Jabung Timur, yang disangka melanggar Pasal 80 Jo Pasal 76C UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
13. Tersangka Irayati als Ira binti (Alm) Saropi dari Kejaksaan Negeri Bungo, yang disangka melanggar Pasal 80 Jo Pasal 76C UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Harli menjelaskan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan RJ ini diberikan, antara lain telah dilaksanakan proses perdamaian, dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memaafkan.
Tersangka belum pernah dihukum, tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun.
Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya, proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi
“Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar. Pertimbangan sosiologis dan masyarakat merespon positif,” jelas Harli.
Selanjutnya, Jampidum memerintahkan kepada para Kejari untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan RJ sesuai Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran Jampidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum.
Nasional Coruption Watch (NCW) mengapresiasi kebijakan Japimdum dan jajarannya dalam menyelesaikan masalah melalui Restoratif Justice.
“Kami beri apresiasi dan terimakasih atas kebijakan yang telah diputuskan Jampidum yang begitu bijaksana, tanpa ada suara-suara sumbang tentang suap menyuap dan sebagainya,” tukas Herman PS, Ketua NCW Bekasi Raya, Jumat, 30 Agustus 2024.
Tinggalkan Balasan