Bekasiraya.id, Kota BekasiĀ – Mahkamah Agung mengabulkan permintaan peninjauan kembali (PK) kasus mafia tanah yang menimpa mantan Diplomat di Kementerian Luar Negeri RI, alm Djohan Effendi pada 2106 silam.
PK atas Putusan Kasasi No 2721 K/Pdt/2021 itu sebelumnya diajukan oleh ahli waris, yakni Luthfi Adrian dan Siti Sarita melalui kuasa hukum, pada 21 September 2022.
Adapun objek perkara kasus ini, yaitu sebuah rumah di Jalan Kemang V No.12, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, milik Djohan Effendi, yang diambil alih oleh sindikat mafia tanah melalui jual beli bodong.
“Alhamdulillah pada 3 Mei 2023, kami sah secara hukum, bahwa objek perkara yang terletak di Jalan Kemang V No 12 Jaksel adalah milik Djohan Effendi atau milik ahli warisnya yang sekarang adalah Ibu Sarita dan Bapak Lutfi Adrian. Jadi perkara ini sudah kami menangkan melalui putusan majelis di peninjauan kembali MA,” kata kuasa hukum korban, Arlon Sitinjak di Bekasi, Sabtu, 25 Mei 2024.
Kasus ini sendiri bermula saat rumah tersebut dikontrakkan kepada Husin Ali Muhammad (59) pada 2016 seharga Rp 45 juta per bulan. Husin disebutkan sering mengadakan pengajian di rumah itu dan ikut mengundang korban.
Selang beberapa waktu, pelaku meminjam dua sertifikat (SHM) korban dengan dalih ingin menurunkan daya listrik. Awalnya Djohan hanya memberikan berupa fotocopy-an saja, namun Husin kembali berdalih jika PLN meminta menunjukkan SHM asli.
Untuk meyakinkan korban, pada 12 Juli 2016, pelaku membawa serta petugas PLN abal-abal yang dilakoni oleh Fauzi. Alhasil korban pun meminjamkan kedua sertifikat asli, yang kemudian dipalsukan oleh pelaku.
“Begitu diserahkan, hanya beberapa menit dikembalikan lah sertifikat yang sudah dipalsukan sebelumnya oleh pelaku dan aslinya sudah mereka kuasai,” ujar Arlon.
Mantan Kasat Narkoba Polres Metro Bekasi itu melanjutkan, pelaku yang memegang sertifikat asli, bersama dengan sosok Djohan Effendi abal-abal yang diperankan Halim (DPO), menjual rumah korban kepada Santoso Halim seharga Rp 15 miliar.
Lalu tanggal 12 Agustus 2016 dibuat lah akta jual beli bodong itu seakan-akan terjadi transaksi yang sah di hadapan Notaris/PPAT Lusi Indriani. Dalam transaksi tersebut, Santoso mentransfer sebesar Rp 8 miliar.
“Yang membuat sangat janggal, uang pembelian bukan diserahkan kepada si penjual, yaitu Halim DPO atau Djohan Effendi figur, tetapi diserahkan kepada Husin,” ungkap Arlon.
Djohan yang terkejut atas kejadian tersebut, lalu meminta pemblokiran SHM ke BPN. Namun BPN membuka pemblokiran tanpa mengkroscek siapa sebenarnya Djohan Effendi yang asli.
Kasus ini kemudian dilaporkan korban secara perdata dan pidana ke Polres Jakarta Selatan, pada 6 Februari 2017. Husin pun akhirnya ditangkap dan dihukum 4 tahun penjara karena terbukti melakukan pemalsuan akta autentik dan pemalsuan surat, baik di pengadilan tingkat pertama, banding hingga kasasi.
Santoso Halim yang tak terima, menggugat Djohan Effendi perihal perbuatan melawan hukum ke PN Jaksel dengan perkara nomor 240/PDT.G/2018/PN.JKT.SEL. Atas putusan itu, Santoso mengajukan permohonan banding dan menang. Ia pun dinyatakan sebagai yang berhak atas rumah dan tanah tersebut.
Djohan Effendi lalu mengajukan Kasasi dengan Perkara No 2721 K/Pdt/2021, namun gagal. Majelis hakim menyatakan Santoso Halim adalah pembeli beritikad baik. Korban lantas menggugat perdata ke PN Jaksel pada 17 Maret 2020 dengan perkara nomor 251/Pdt.G/2020/PN JKT.SEL. Namun majelis hakim yang menangani perkara a quo menjatuhkan putusan nebis in idem karena memiliki objek perkara yang sama.
Hingga akhirnya, ahli waris korban, Luthfi Adrian dan Siti Sarita mengajukan permohonan PK atas Putusan Kasasi No 2721 K/Pdt/2021. Dan pada 26 Desember 2022, berdasarkan Surat No W10.U3/18834/HK.02/12/2022, berkas PK dari PN Jakarta Selatan diserahkan kepada Ketua MA.
“Setelah keluar PK, Santoso Halim itu dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum dan pemilik yang sah atas objek itu adalah Djohan Effendi. Putusan yang sebelumnya itu sudah gugur,” tegas Arlon.
“Kemudian putusan PTUN kami juga sudah mengajukan dan sudah diputuskan, bahwa Kepala BPN Jaksel supaya membatalkan sertifikat atas nama Santoso Halim dan mencabut kepemilikan itu untuk penerbitan atas nama Djohan Effendi atau ahli warisnya,” paparnya.
Selanjutnya pada laporan pidana tertanggal 8 Juli 2021, penyidik Polda Metro Jaya telah menetapkan Santoso Halim serta dua Notaris/PPAT, Lusi Indriani dan Vivi Novita sebagai tersangka, pada 15 Desember 2022. Ketiganya diduga melanggar Pasal 266 KUHP dan atau Pasal 264 KUHP.
Pihak korban berharap agar semua berkas/dokumen para tersangka segera dilimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum, untuk secepatnya disidangkan di PN Jakarta Selatan.
“Kiranya bapak Kejati DKI Jakarta segera menindaklanjuti. Dan sekiranya diizinkan supaya ditindak tegas, dilakukan penahanan supaya tidak ada korban-korban lain, khususnya mafia-mafia tanah ke depannya,” tandas Arlon.